Bumi sebagai ‘ibu’ telah memberikan segalanya untuk kita. Tanah tempat berpijak, udara yang kita hirup, hingga sayuran yang disantap setiap hari. Saatnya berterima kasih kepadanya; berharmoni dengannya. Tak ada salahnya mengubah pandangan, bumi bukanlah sumber daya yang senantiasa dihisap, melainkan sahabat, seperti yang telah diajarkan nenek moyang sejak lampau.
Friedrich Nietzche pernah menyatakan, “Bumi memiliki kulit, dan kulitnya berpenyakit. Salah satu penyakit kulit itu adalah manusia”. Pepatah orang Indian menyebutkan, “Hanya ketika pohon terakhir mati, sungai terakhir teracuni, dan ikan terakhir terpancing, kita baru menyadari … manusia tidak bisa memakan uang.” Dan tak lama lagi, anak cucu kita bisa jadi merutuki generasi ini yang hanya pandai mengutip kata mutiara tapi tak bertindak nyata.
Berawal dari ide tak terpakai John McConell 43 tahun lalu, dari waktu ke waktu, kepedulian kita untuk menghargai ‘ibu’ sekaligus ‘rumah’ bernama bumi ini terus tumbuh. Awalnya, perayaan Hari Bumi hendak diadakan tepat pada hari pertama musim semi 1970 yang jatuh pada 21 Maret. Sebelum akhirnya, gagasan Gaylord Nelson untuk menggelar Hari Bumi pada 22 April tiap tahunnya, lebih bergaung hingga kini.
Disadari atau tidak, sebenarnya seiring dengan kemajuan teknologi, manusia semakin jauh dari alam. Semakin mengasingkan diri, dan semakin angkuh pula. Nenek moyang di masa lampau, dengan keterbatasan pengetahuan, memandang alam sebagai sesuatu yang melampaui segalanya. Ritual mengundang hujan, mempersembahkan hasil bumi, melarung sesaji, adalah bentuk penghargaan mereka terhadap alam. Upaya untuk menciptakan harmoni.
Namun, kala teknologi membuktikan alam bisa ditaklukkan, kita pun berjarak. Seperti tidak mengenal tempat yang dihuni. Menghitung pergerakan bintang di langit, hanya dinikmati orang-orang tertentu yang berminat.
Dan perubahan iklim bumi menuju sesuatu yang menakutkan, tak berhenti terjadi. Kita mungkin tidak terlalu peduli dengan beruang kutub yang berjuang hidup di Arktik. Orang utan yang semakin terdesak oleh kebakaran hutan dan ekspansi manusia. Atau Ikan Paus yang kehilangan plankton di Atlantik Utara yang makin menghangat dari waktu ke waktu.
Mungkin pula kita masih bergeming kala mengetahui, di Maladewa, orang mulai ketakutan apakah mereka tak akan tersapu oleh permukaan laut yang terus menaik. Negara sebesar Amerika Serikat tak berdaya menghadapi badai super. Atau, keluarga kecil di Bangladesh yang tak bisa mencari air bersih karena seringnya banjir dan badai.
22 April 2013 adalah momentum. Pemerintah negara mana pun di seluruh dunia, siapa pun yang tinggal di planet ini, siapa pun yang masih ingin menyaksikan masa depan yang lebih baik, bisa duduk bersama. Mencari solusi untuk bumi. Percayalah, kita yang jauh-jauh lebih membutuhkan bumi daripada kebutuhan bumi terhadap kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar